Oleh : Nadya Syahputri
Tak bosan ku katakan payah
Sambil ku berjalan menuju titik yang kurindukan
Berpijak pada tanah yang pernah diserukan kata merdeka.
Masih jua aku tersengal dibawah kata merdeka
Ya ! merdeka sekuntum kata kenangan
Namun, memerdekakan bukan untuk kita
Tanya saja pada rembulan
Saat dia bersinar, saat itu pula kita ditengah kemencekaman!
Urutkan saja garis horizontal kearah timur
Terdapat saudara Hawa yang tengah berjalan
Tanpa alas kaki yang melindungi mereka dari duri belantara
Perjuangan, nampaknya menjadi nafas sejak sebelum mekarnya kuntum kata merdeka
Menapak kemanapun mereka dapat mencari kesetaraan antara barat dan timur
Tapak kaki yang kini mati rasa, beribu cakap itu adalah surga
Surga bagi mereka yang pernah singgah pada rahimnya
Seonggok surga itu sedang bersimbah darah dengan nafas perjuangan
Tampak telapak kaki dengan bercak kemerahan menuju ke barat
Banyak manusia berkata, itulah surga tanah ini
Padanya tanah ini ada kendali
Padanya tanah ini dijarah
Padanya tanah ini digadai
Padanya tanah ini meminum darah
Merekalah ahli waris yang mereka buat
Orang Timur sudah tak mengenal apapun
Kecuali darah yang tlah tumpah
Bukankah tak kan nampak Barat jika tak nampak Timur ?
Bagi surga-surga berjalan itu, kepadanyalah nafas itu kan dipanjangkan
Ya, putera puteri ahli waris tanah asli mereka
Memperkenalkan budaya timur nan luhur serta menjaga tanah tetap kering dari darah mereka sendiri
Aku tertegun, meski kuketahui keringat mereka kan menguap begitu saja
Darah mereka kan kering begitu saja
Semoga ini hanya sementara
Aku pun terus berjalan, membersamai nafas tulus mereka
Memperkenalkan arti kata merdeka dan memerdekakan yang sebenarnya
Meski kutahu aku pun kan bersimbah darah
(*Puisi ini dicetak dalam buku “Kekuatanku, Srikandi Indonesia” penerbit Karnata Publisher tahun 2020)
Tags: perempuan, puisi