Jejak di Sumbing

June 1, 2018
oleh : Nadya R Syahputri

Jejak ini kurang lebih aku dan kawan-kawan cetak, pada bulan November 2017 lalu. Menyusuri jalan dari kaki Merbabu ke kaki Sumbing. Saudara kembarnya Sindoro, kalau kata pendaki bilang, Sindoro-Sumbing semacam sepasang pengantin yang bersinggasana di pelaminan.

Sumbing, gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah ini, memiliki ketinggian 3371 mdpl. Hutan gunung yang masih rimba, kala itu kami menyusuri rimba melalui jalur desa Banaran. Jalur yang bisa dibilang baru, dan diresmikan oleh warga setempat sekirar setahun lalu terhitung waktu kami mendaki. Dari kaki Merbabu, kota Salatiga menuju kaki Sumbing, di Desa Banaran, Temanggung cukuplah kami ukur menggunakan roda kuda besi yang kami tunggangi. Menuju senja kami memulai perjalanan hingga sampai di basecamp tepat waktu maghrib.

Mulai Mencetak Jejak

Setelah sampai pada pintu gerbang pendakian, kami diantar oleh tukang ojek untuk mengambil efisiensi waktunya. Perjalanan panjang kami berempat, dimulai. terdiri dari 2 pecandu ketinggian perempuan dan 2 yang lain, laki-laki. Seperti biasa satu jam pertama merupakan penyesuaian.

20170930_182500

Malam yang panjang, bagiku. Udara yang memelukku semakin dingin bertemankan suara jejak langkah berat kami dengan membawa beban dipunggung dan nafas yang mulai tersengal, reaksi badan mulai menampakkan pada tuannya. Menakjubkan ! Berhenti sejenak lalu berjalan, berhenti dan seterusnya. Rute Banaran ini membuatku rindu akan kenikmatan istirahat. Terkadang istirahat sejenak membuatku manja, enggan berjalan lagi. Sikap yang wajar ketika mulai lelah selimuti raga. Jangan terlena ! ini belum apa-apa.

Terus kami berjalan, hingga kami mengambil keputusan untuk istirahat hingga pagi. Melakukan aktivitas seperti biasanya jika mendaki. Ketika lelah menghampiri, kami istirahat dan jika lapar mendera, kita mengolah bahan makanan hingga berseni akan rasa. Tetap jaga kesehatan.

“Mendaki juga Bagian dari Kehidupan”

Pos demi pos kami lalui lengkap dengan rahasia kehidupannya (baca: Rintangan). Pelajaran baru pada setiap rumusan kehidupan mendaki. Menimbulkan pemikiran baru, perhitungan yang tepat, pemecahan yang kreatif dan tim yang solid. Mendaki adalah kerja kolektif.

20171001_124837

Menuju Pos ke-4 dalam pendakian kali ini. Jika track datar yang diimpikan mendaki saat sudah mencapai titik lelah dan lutut yang terus memberontak, pos empat adalah penawar sementara. Kami para penikmat kabut diketinggian menyebutnya, Bonus. Selamat ! bonus didepan mata. Sejenak melemaskan otot untuk siap bertarung pada track yang penuh dengan kejutan. Sejenak di pos 4 untuk melepas penat, melihat butiran partikel air menyapa dan matahari yang membakar. Tapi kami tak merasakan panasnya. Bercengkrama dengan pendaki yang lain, bertukar cerita, saling bertanya asal hingga bertanya pos selanjutnya hingga ke Puncak. Obrolan yang tak akan sedap, jika dibincangkan pada hiruk pikuk kota.

Kembali berkehidupan ditempat yang bukan seperti biasanya. Kehidupan berTuhan, sejatinya kami berjalan pada salah satu ciptaanNya. Mempelajari apa yang Dia berikan, mensyukurinya sebisa mungkin menjaganya. Kami dijaga olehNya saat menghampiri ciptaanNya yang lain, semakin ku mengingatNya begitu lekat. Sebuah harmonisasi semesta yang sederhana, ku berterimakasih.

20171001_171223

Kabut seolah ikut berterimakasih kepada Penciptanya, nampak mereka membaur bersama ditengah kami berterimakasih. Begitupun ilalang, terlihat seperti satu komando untuk ikut bersujud.

Kami mengingat Tuhan dengan cara yang tak seperti biasanya – Dia Maha Bijaksana

Malam kedua kami menjajaki ciptaan Tuhan yang satu ini. Semakin dingin memagut setiap raga kami. Lutut hingga kaki nampak terikat dengan bumi ditambah kepekatan malam yang berkepanjangan. kami dirikan dua rumah sementara yang saling berhadapan dengan mengira kemana arah angin. Setelah tepat, sesegera mungkin kami dirikan untuk selanjutnya melepas penat dan pagutan dinginnya malam, meski hanya sementara. Berusaha dingin masuk pada celah terkecil rumah kami, dan kami biarkan masuk dengan segala upaya untuk menepisnya. Biarlah ! ini Kasih SayangNya.

Kembali kami menyapa pagi yang kuat dinginnya, pada sabana yang indah “Segoro Banjaran”. Aku terlanjur mencintai Sabana ini, Terimakasih telah menyambutku dengan baik. meski tak nampak apapun kita berjalan menuju puncak. Ditengah perjalanan, waktunya menyapa Sang Pencipta dan berterimakasih “Kau t’lah menjaga kami”

Terus berjalan menuju puncak dengan meraba jalan yang masih sangat gelap. Perlahan Surya yang tampan menampakkan tanda dengan sorot cahaya indah paginya. Cinta Tuhan yang lain ! teriak batinku. Mulai terlihat keindahan cinta yang lain melalui ciptaanNya.

20171002_050911

Tampak Edelweiss cantik menyapa. kubawa pulang dalam lukisan cahaya yang hanya bisa kugenggam pada layar pengabadi objek. Bunga abadi yang bermekaran berwarna coklat terang saling bergerombol serta daun hijau yang menjarum. Tak ada keberanian tuk menyentuh apalagi memetiknya. Hanya nyali tuk memotret yang kulakukan. Ini saja sudah cukup bagiku.

20171002_052439

Edelweiss … semua mencintaimu, semua melindungimu …

Tags: , , , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *