Oleh : Nadya R Syahputri
Koloni awan berusaha menutup pancaran lazuardi dengan bantuan angin. Ah, tak sehangat bulan lalu dengan warna emas setiap paginya. Sedikit temaram, namun beginilah roda kehidupan semesta. Di tengah bukit menuju atap tertinggi salah satu bangunan megah semesta. Terdengar suara berdialektika mempersoalkan suatu keadaan dibalik naik turunnya roda semesta dewasa kini.
“Sepi sekali disini, ku melihat dari ketinggian tak terdengar suara sang pecinta” ucap suara dari tengah bukit diantara bebatuan dan rumput yang tak terlalu tinggi
“ ini lebih baik, daripada mengorbankan tubuh kita yang rapuh ini !” jawab sinis dari arah berlawanan
“Bicara apa kau ? tidak semua mereka begitu.” Sanggah dengan nada rendah.
“tapi kenyataan kan, sang pecinta yang tak benar-benar mencintai mereka sebetulnya hanyalah perusak, namun apa daya kita tak bisa membalas”
Gemuruh angin dari arah selatan sedikit mendengar pembicaraan mereka ditengah bukit. Seketika dia nimbrung mecoba menyelami dialektika mereka soal pecinta yang mereka maksud, dan mengapa mereka mempersoalkan ditengah keadaan yang demikian. Gemuruh angin mendatangi mereka dan berbicara dari atas bukit.
“Hai, kalian dua Edelweiss ditengah sana, apa yang kalian persoalkan ? tanya dengan nada penasaran oleh sang angin.
“Sungguh gemuruhmu menakutkan kami, kami hanya berbicara soal pecinta yang kurasa sudah jarang mengunjungi kita.”
“lebih tepat disebut perusak” sahut dengan nada ketus oleh Edelweiss seberang.
Tertawa sang Angin melihat tingkah dua Edelweiss soal pecinta yang mereka maksud. Sang angin berusaha meyakinkan pemahamannya jika ternyata itu adalah manusia-manusia yang sering datang mengunjungi mereka.
“ Apa yang kalian maksud adalah beberapa pecinta semesta ini dengan beban dipunggung mereka yang biasa disebut Pendaki ?”
“Betul, Paman Angin” ucap mereka berdua secara bersamaan.
“Lebih tepat lagi membawa beban sampah dipunggungnya” celetuk Edelweiss seberang dengan ketus.
“Sudah-sudah mari Paman terangkan, tenangkan diri kalian dulu, tetaplah tampak seperti koloni Edelweiss yang menenangkan seperti biasa.”
“sebenarnya Paman juga merindukan memberi kesejukan disetiap waktu kepada manusia-manusia pecinta itu. Namun asal kalian tau, telah ada pertemuan antara kami warga angkasa dengan sang Pengatur kami.” Imbuh Paman angin.
“Lantas, apa yang kalian bicarakan diatas sana, Paman ? tanya Edelweiss dengan lugu.”
“Seperti yang kamu ucap pertama kali tadi, semua ketetapan Pengatur kami menyebabkan mereka tidak mengunjungi kalian.”
“Kami, terkhusus warga angin saling gotong-royong mendorong milyaran warga awan untuk menutup rata keindahan langit untuk sementara waktu.” Kata Paman angin.
Wuss… wusss… wuss… sang Paman angin berusaha memperlihatkan kepiawaiannya dalam mendorong milyaran warga awan dengan liuk badan yang lincah nampak seperti penari yang sudah cukup terlatih.
“Whoooaa, pamaan apa yang sedang Paman lakukan pada kami ?” seruan secara kompak oleh Edelweiss bukit itu.
“he… he…he… maaf Paman hanya memperlihatkan kepada kalian, begini tugas koloni angin kepada awan.” Ucap Paman angin dengan gelak tawa khas.
“Lalu mengapa sang Pengatur memerintahkan itu semua, Paman ?” ucap Edelweiss
“Segala sesuatu yang Dia tetapkan melainkan hanya untuk kebaikan kita semua sebagai mahluk yang diaturNya, Paman hanya menaati perintahNya sebagai bentuk bakti kepadaNya.”
“Sementara waktu si sumber kehidupan kita semua, diperintahkan untuk sembunyi dibalik milyaran warga awan.”
“Terkadang juga Paman mengajak sebagian kawanan awan untuk menari lincah bersama hingga membentuk semacam pusaran, dan tak jarang pula membuat manusia dibawah sana ketakutan, sehingga ingat dengan Kebesaran sang Pengatur kita.” Jelas sang Paman.
Dengan termenung dua Edelweiss dan saling berpandangan mencoba mencerna apa yang dipaparkan oleh Paman mengenai kebesaran sang Pengatur. Didalam benak mereka, apakah yang harus mereka lakukan ketika seluruh aktivitas yang mereka lihat diatas sana yang menyebabkan warga bumi dibawahnya menanggung segala yang mereka perbuat.
“Nampak ada yang sedang menasehati cucu-cucuku, hai angin ! masih saja kau diatas sana, mengapa tak kau bawa awan-awan itu kearah utara ?” kata seorang dengan suara yang berat karena umur.
“Kakek gunung, lama kita tak bersua semakin gagah saja rupanya, tidak kek, saya dan cucu-cucu kakek yang cantik ini hanya sedang saling memahami.” Ucap Paman angin penuh dengan semangat.
“Kek, sang pecinta itu tak pernah mengunjungi kita, kenapa”? apa hubungannya dengan kebesaran sang Pengatur kita semua ? kata Paman angin mereka telah mengadakan pertemuan dengan sang Pengatur dan warga angkasa yang lain.” ungkap Edelweiss dengan penuh rasa penasaran.
“Yaa… begini, cucu-cucuku kita sebagai warga bumi, warga bawah kita hidup berdampingan dengan yang lain, salah satunya dengan sang pecinta yang kau maksud atau lebih mudah kakek menyebutnya ‘pendaki’.”
“Sang Pengatur kita sebut sebagai Tuhan, Dia selalu menebar hikmah dari setiap kejadian yang ada.”
“Memang keadaan semesta saat ini seperti bukan harapan setiap manusia sebagai warga bumi yang berada dibawah, Mereka lebih menyukai cuaca cerah, angin tak terlalu besar, awan tipis-tipis saling berarak, tak ada hujan, sang pusat peredaran benda angkasa menampakkan sinar terbaiknya”
“Manusia-manusia itu seringnya lupa, ketika segala kenikmatan sudah mereka raih, selalu saja beranggapan bahwa segala kenikmatan diatas adalah apa yang dibayarkan Tuhan kepada mereka karena sudah mau susah payah mendaki.”
“Tapi mereka merusak tubuh temanku yang lain kek, bahkan mereka yang sedang tumbuh mulai terbiasa dengan semesta dimana mereka tinggal, namun dengan rasa tanpa dosa mereka dengan seenaknya mencabut cucu-cucu kakek dari pangkuan kakek.”
“Bahkan aku pun bisa merasakan sakitnya tubuh mereka yang dengan kasarnya, memperlakukan kawan-kawanku, aku benci dengan pendaki, kek !” teriak Edelweiss seberang dengan kesal.
“Tenang cucuku, kita tidak bisa membalas apapun tanpa persetujuan Tuhan sebagai sang Pencipta kita dan manusia itu sendiri.”
“Lantas, mengapa Tuhan ciptakan mahluk se-Jahat mereka, Kek ?”
“Tidak semua manusia yang Tuhan ciptakan bersifat demikian, Tuhan lebih mengerti apa-apa saja yang Dia tetapkan untuk mahlukNya baik untuk warga angkasa atau warga bumi” Jelas kakek.
Seketika kenampakan semesta sedikit gelap daripada seharusnya diwaktu itu. Tak nampak sepotong lazuardi pun terlihat dari bumi, angin dan kawan-kawannya pun mulai menari dengan gerakan yang cukup memberikan dampak kepada warga angkasa dan warga bumi, pepohonan mulai meliuk-liuk mengikuti gerakan angin di atas. Tak terasa pula sengatan bola raksasa yang seharusnya sekarang adalah waktu yang tepat untuk menerima sengatan panas dari bawah. Keadaan semakin temaram bahkan menuju gelap beriring angin hitam yang siap turunkan milyaran bulatan amunisi bening kepada warga dibawahnya.
Bress … Hujan deras dengan suhu yang rendah ditambah lagi dengan kecepatan angin siap mematahkan batang-batang pohon dan ranting yang sudah berdiri cukup lama di Gunung. Segalanya telah diatur oleh Sang Maha Pengatur semesta, ini semua milikNya segala ketatapan pun juga ketetapanNya.
Sang kakek dan salah dua orang cucunya termenung bersamaan seraya berdo’a kepada Tuhan ini semua merupakan ketetapan terbaik yang Tuhan berikan untuk mereka.
“Lihatlah kalian, sudahkah mengerti tentang siapa yang berhak membalas semuanya ?” tanya kakek gunung.
“Sudah, Kek.” Jawab Edelweiss bersamaan.
“Kakek sudah sering disakiti oleh manusia, kakek didaki oleh banyak pendaki dengan membawa segala sifat kesombongan mereka, dengan congklak mereka merusak bagian tubuh kakek, yang semestinya mereka tidak berhak atas apapun pada diri Kakek.”
“Kakek sudah tua, dengan sombongnya mereka membawa api untuk kesenangan belaka, tanpa ada tanggung jawab.”
“Sudah sering mereka melukai Kakek, bertahun-tahun bahkan melewati musim yang saling berganti, dengan sadisnya mereka membuang benda asing pada diri kakek yang selamanya tak akan pernah hilang.” Imbuhnya.
“Mengapa kakek tak marah dengan mengeluarkan apa yang ada diperut kakek ?” tanya Edelweiss
“Kakek hanya menaati perintah Tuhan, ketika kakek diperintahkan untuk memberi pelajaran, maka kakek segera menaati perintahNya.
“Namun sekarang, biarlah Tuhan yang berbicara langsung terhadap manusia dengan segala kehendakNya.”
Hujan masih terus mengguyur pegunungan yang merupakan bukan suatu soal yang besar bagi Kakek, Edelweiss dan segala warga disekitaran gunung. Nampaknya Kakek gunung dan Edelweiss menikmati apa yang menjadi ketetapan Tuhan saat itu. Tiba-tiba Paman angin sedikit menari dan perlahan menggeser sebagian kristal bening yang jatuh tepat diatas Edelweiss, seraya berkata :
“Hai, Edelwaiss baru saja aku berkeliling sekitaran wilayah sini, nampak dari kejauhan aku melihat begitu banyak manusia yang sedang kesusahan.”
“Tuhan mengirim ratusan juta liter air yang sangat keruh sehingga menggenangi tempat mereka hidup, adapula sebagian teman-temanku pada kawasan lain menari-nari diatas tempat mereka hidup atas perintah Tuhan.” Kata Paman angin.
“Lalu apa yang terjadi dengan manusia itu sendiri, Paman ?” tanya Edelweiss dengan rasa penasaran.
“Beragam, manusia-manusia dibawah sana ada yang sedang menangis meratapi keadaanya, ada yang berusaha tegar, ada yang saling membantu saudara mereka yang menderita, ada yang biasa saja bahkan ada yang tak peduli sama sekali.” Jawab Paman angin
Dengan penuh pemahaman dari yang mereka ambil kedua Edelweiss, kini mulai paham mengapa para manusia pecinta yang kakek sebut sebagai pendaki, kini jarang mengunjungi mereka. Dan mengapa kita tidak usah repot-repot membalas apapun yang mereka lakukan, ada Tuhan yang menetapkan semuanya. kemudian yang terakhir, segala ketetapan Tuhan selalu berdampak baik bagi ciptaaNya meskipun melalui beragam cara yang menjadi rahasiaNya.
“Paman, sekarang kita mengerti, mengapa manusia itu jarang sekali mengunjungi kita ? karena mereka sedang diajak berbicara oleh Tuhan dan sedang menerima pelajaran kehidupan mengenai semesta dari apa yang mereka tanam.” Ungkap Edelweiss
Dari arah seberang, Edelweiss pun tak mau kalah mengutarakan ungkapannya kepada Paman angin. “Sembari para manusia sedang diajak berbicara oleh Tuhan, kita semua bisa memulihkan kembali atas tubuh-tubuh yang sedikit terluka karena ulah mereka, dan aku berharap ketika mereka kembali lagi, telah sadar betul mengenai hal-hal apa saja yang seharusnya mereka lakukan terhadap semesta.” Imbuh Edelweiss di seberang dengan nada optimis.
“Itulah, Hikmah !” ungkap Paman angin.
Akhirnya dua Edelweiss yang mulanya berseteru dengan argumen masing-masing. Kini mereka saling tersenyum dan memandang ke langit yang telah berubah menjadi gelap, namun masih tanpa bulan dan jutaan bintang yang biasa hiasi langit kala malam.
Tags: angin, cerpen, edelweiss, gunung, manusia, pendaki, semesta