Gendis dan Jendela

November 30, 2017
oleh : Nadya R Syahputri

Dia dibangunkan oleh gemuruh angin pagi dan sedikit gerimis mesra membasahi pijakan insan yang sudi menyapa semesta dipagi hari. Terdiam, Gendis mengumpulkan nyawa untuk beranjak dari tempat tidur. Menoleh jam dinding pukul 03:30, cukup gelap diluar memang, Gendis mengintip kearah jendela yang perlahan dia buka sedikit gordennya.

 “masih gelap banget ya ? nampak mendung juga” ungkap Gendis pelan.

Sebuah buku filsafat, masih terbuka dengan posisi tertelungkup menandakan Gendis membaca buku sebelum tidur hingga akhirnya dia ketiduran. Gendis memang sedang memahami buku-buku filsafat karena ingin mematahkan pandangan bahwa filsafat itu sulit, karena baginya tidak ada yang sulit yang ada hanya tantangan.

            “Haduh, kertasnya kelipet-lipet harus ditindihin pake buku tebal ini” panik Gendis.

saking cintanya dengan buku, Gendis selalu membawa buku kemanapun yang sekiranya dia memiliki waktu senggang dan waktu tunggu yang panjang, bagi Gendis setiap hari harus ada sesuatu yang baru.

Bergegas Gendis ke kamar mandi untuk mengambil air suci syarat bertemu dengan Tuhannya. Meskipun Pemilik semesta belum memanggil melalui penyeruNya yang merdu. Iklim dingin daerah pegunungan sudah biasa Gendis hadapi, namun sesering itu pula Gendis selalu mengungkap dingin setelah bersuci.

            “Belum kunjung adzan ya, lanjut baca aja dulu, semalam sampai mana ya ?”

Begitu serius Gendis melanjutkan bacaannya, hingga selang 15 menit Gendis mendengar suara merdu pertanda waktu Subuh. Bergegas Gendis menutup bukunya untuk memakai mukena menuju dua rekaat bercinta dengan Tuhannya.

            Selesai bercinta dan bersimpuh dengan Pemilik Semesta, dilanjutkannya aktivitas penyelaman samudra ilmu yang sempat tertunda. Begitu khidmat dia menyelam hingga tanpa sadar cahaya pagi mulai nampak dan masih tertutup mendung.

            “sudah kelihatan cahaya pagi, tapi gelap” ucap Gendis

            “oalah, sudah bangun tho, Nduk ?” suara simbok dari luar kamar.

            Seorang perempuan berparas tua dengan setumpuk keriput diwajah serta kulit sawo matang khas perempuan Jawa. Begitu nampak paras perempuan warisan tokoh feminis liberal dieranya, R.A Kartini. Seorang perempuan sebatang kara yang memperjuangkan Gendis seorang diri.

            Kendati Gendis bukan anak kandung perempuan Jawa ini, namun Simbok begitu hangat dalam member kasih sayang kepada Gendis sedari Gendis umur dua tahun yang saat itu dititipkan kepada Simbok. Orang tua Gendis pergi begitu saja tanpa ada pesan apapun kepadanya. Simbok banting tulang bekerja serabutan demi hidup Simbok dan Gendhis. Pekerjaan apapun Simbok kerjakan, mulai dari buruh tandur pari, buruh cuci, buruh musim panen terkadang juga Simbok harus menyadap karet di kebun juragan Karet. Semua semata demi hidup mereka berdua. Sesama sebatang kara, mereka berdua saling mengasihi nampak seperti balutan cinta ibu dan anak kandung.

            “Sudah, mbok” sahut Gendis

            Nuansa Jawa yang kental dan suasana pedesaan yang sejuk selalu mengisahkan akan kearifan orang Jawa lengkap dengan logat medhok yang khas. Tak jarang banyak yang merindukan nuansa kampung yang demikian.

            Kebiasaan Gendis membaca buku bersender samping jendela dan buku menghadap ke cahaya jendela menyebabkan Gendis sering menghabiskan waktu di kamar untuk melalap banyak buku. Seolah jendela merupakan saksi bisu atas imajinasi yang Gendis bangun. Keadaan luar jendela yang begitu rimbun kehijauan dari kebun singkong dan beberapa pohon Mahoni serta ada beberapa pohon buah yang sengaja ditanama oleh pemiliknya sehingga bisa disebut kebun produktif. Kerimbunan yang terbentuk menyebabkan burung sering berkicau atau sekedar hinggap pada ranting pohon dan tak jarang juga sang Burung menghampiri jendela kamar Gendis, mematukkan paruhnya ke kaca jendela kamar.

            “Nduk, ada apa kok lihat keluar nduk ?” tanya Simbok, sambil menghampiri kekamar dan membawakan ubi rebus hangat.

            “Tidak, Mbok, Gendis suka lihat pohon.”

            “lha, ono apane sih Nduk, ini dimakan dulu ubinya mumpung hangat, enak buat perut kalau masih pagi seperti ini.”

            “Terimakasih, Mbok nanti Gendis makan”

            “Kamu baca buku apa to ? kok asik temen ? senengnya ndepis jendela begitu. Sambil duduk kemudian Gendis merebahkan kepala di paha Simbok yang dibalut oleh lilitan kain jarik lusuh nampak sudah lama dan sering dipakai.

            “Hehe bisa aja, mbok. Mbok, coba lihat keluar, banyak burung hinggap kesana-kemari saling bersahutan kicau”

            “iya, memangnya kenapa?”

            “Gendis trauma kalau semuanya berubah mbok, tempat bermain Gendis dulu, semuanya hilang, sudah tidak terdengar lagi suara katak sawah, tak nampak lagi keong emas yang sering Gendis cari, sungai yang dulu airnya bening dan alirannya deras, sekarang raib oleh jalanan beton dan gedung bertingkat”

            “Ya, begitulah mereka, nduk tidak pernah puas dengan apa yang mereka dapat sehingga harus mengambil alih lahan rakyat kecil seperti kita.”

            “Mbok, memang kita tak punya sawah, kebun juga tak punya, serakus itukah mereka, mbok. Mengapa tidak mereka biarkan katak-katak itu meloncat kesana kemari atau keong-keong emas hidup disekitaran sawah dan sungai ?”

            “Sudah, nduk percuma, dengan marah-marah seperti ini apalagi kita rakyat kecil, tidak akan didengar oleh mereka”

            “Gendis tak percaya kepada siapapun yang ingin merusak tempat bermain anak-anak desa sini” sahut Gendis.

            “Iya Simbok mengerti, dulu simbok juga pernah berjuang melawan orang kaya seperti mereka, saat simbok muda daerah yang sekarang menjadi Pabrik kain itu adalah ladang milik kakekmu dan petani ladang yang lain, begitu sedih kakek dan petani lainnya kala itu, Nduk” kata nenek sambil bercerita mengingat masa lalu.

            “Lalu apa yang Simbok dan kakek atau petani yang lain perbuat?”

            “kita hanya bisa teriak kesana kemari tanpa dibela oleh siapapun, lha wong sebagian petani menerima uang ganti rugi yang tak seberapa dibanding dampak yang mereka terima bahkan bapak Walikota dan pak Lurah juga ndak mau turun tangan.”

            “mengapa mental penguasa kita nampak seperti macan kelaparan ya, Mbok ?”

            “Gendis takut sebelah jendela kamar Gendis nanti berubah menjadi Jalan tol atau bangungan pencakar langit, Mbok”

            “Gendis ndak bisa membayangkan mimpi buruk itu menimpa kita, Gendis cuman punya Simbok dan sepetak lahan hijau diluar jendela kamar Gendis. Simbok pun tak ada lahan kebun ataupun sawahkan ?” tambahnya

            “Wis mbuh, Nduk, dadi pangiling buat kamu nanti, Simbok rela banting bahu buat sekolah tinggimu, asalkan kamu nanti saat sudah dadi wong gedhe, rakyat seperti kita ini yang menjadi perhatianmu, alam sekitar juga diperhatikan menuso iku ora biso lepas dari alam, jika alam murka kitalah yang paling menderita pertama kali.”

            Seolah jendela kamar Gendis jadi saksi pembicaraan mereka berdua, Gendis menatap ke jendela kamarnya sambil bekata dalam hati :

            “Semoga tetap baik-baik saja, Gendis hanya punya Simbok dan kamu, kekuatan kaca beningmu mampu menyalurkan inspirasi hijau menyegarkan masuk kedalam pikiran Gendis, tetap disana.”

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *