Gorden Asrama

December 31, 2017

Lelah tubuh kurebahkan sejenak dikamar asrama putri yang biasa sering kusinggahi. Cukup terik diluar hingga begitu ku masuk, terdapat atmosfer yang tidak begitu signifikan, namun sedikit suhu rendah mampu masuk ke sela-sela antara kulit dan pakaian yang kukenakan.

Terpejam sejenak menikmati udara yang masuk sambil menghela nafas teratur. Banyak kawan-kawan penghuni asrama yang sedang berada di zona nyaman masing-masing. Ada yang menatap layar sebesar 5 inch sambil tersenyum simpul ataupun hanya sekedar scroll up and down untuk sejenak melihat kabar menarik, namun sayangnya tak temukan satupun yang menarik.

Sebagian lagi ada yang sekedar membaca buku ataupun mencari informasi didalamnya sebagai pelengkap teori dalam tugas yang dibuat. Semua itu mereka lakukan diatas tempat mereka merangkai mimpi saat tubuh meminta haknya untuk istirahat.

Seorang penghuni asrama hilir mudik keluar masuk melalui pintu kamar untuk mencari sesuatu di kamarnya.

“cari apa ?” kutanya sambil tiduran

“nyari barang ada yang ketinggalan.”

“eehh, tutup kak. Aurat ! aurat !” teriak seorang penghuni asrama yang lain.

“eittss, anginnya gede nih, pake paku aja kuncinya.”

Pintu asrama terbuka karena angin yang bertiup kearahnya, pintu yang tak ada kunci selayaknya kunci pintu seharusnya. Hanya ada dua cara untuk menutup pintu asrama yang antik ini, dengan menyematkan paku, pensil atau segala benda yang kecil dan panjang untuk bisa masuk ke lubang kunci yang terpasang di kusen. Cara yang lain adalah dengan mengganjalkan korden jendela dengan menarik sedikit untuk kemudian dijepitkan antara pintu dengan kusen. Kreatifnya mahasiswi ini, pikirku dalam benak.

Terbangun dan duduk bersandar ke tembok setelah sesaat berbaring, sambil ku melirik kearah pintu yang ditutup dengan sematan paku disampingnya supaya menahan pintu dari tiupan angin.

Pandanganku terpaku pada kain berwarna hijau yang dwifungsi selain menjadi penutup jendela juga sebagai pengganjal pintu sebelahnya. Sudut ujung kain yang lusuh karena sering dijepit oleh pintu sebagai benteng pertahanan melawan angin yang bertiup.

seakan memantikku untuk berimajinasi bagaimana jika mereka mampu berkata-kata. Akankah mereka akan menangis atau mungkin tertawa ? semacam manusia yang banyak menuntut.

“Pekerjaanku kiat berat” gerutu sang Gorden

“Apa yang kau pikirkan ? kau hanya selembar gorden yang menggantung, tak ada hal sulit.”

“Apa kau tak ingat siapa yang menahanmu ketika kau terbuka?”

“Ya, aku berterimakasih kepadamu, gorden hijau”

“Diriku tak lagi licin dan wangi seperti setelah disetrika oleh tangan lembut perempuan-perempuan ini”

“Setiap hari kurasakan sakit sebagian badanku terjepit diantara kau dan kusen tempatmu bergantung”

“Baiklah aku mengerti” dengan nada sedikit menurun, pintu berucap.

“Belum lagi tangan lembut mereka melipatku dalam bagian yang kecil dan mengambil bagian yang terlipat itu menjadi pengganjal agar lebih kuat lagi menahanmu, pintu.”

“Yaa aku tak berdaya menahan tiupan angin diluar, maafkan.”

“Sudahlah kawan.”  Ucap paku yang terkadang bertugas sebagai pengunci pintu ketika malam datang.

“Hai gorden, ketahuilah, dibalik keluh kesahmu itu banyak tenaga yang kau sia-siakan, bersabarlah.”

“Lihat lah mereka yang ada diruangan ini, makhluk Tuhan yang sangat dijaga kemuliaanya, untuk mereka yang berhak.”

“Kau menyelamatkan banyak aurat mereka dari makhluk yang tak berhak atas diri mereka, badanmu terbentang di jendela, dan ujung badanmu yang lain tersemat diantara kusen dan pintu.”

“Kau paling berjasa disini, bahkan aku yang lebih besar darimu tak mampu ku menahan angin diluar, sehingga goyah pertahananku.” Tambah sang pintu.

“Tuhan sudah membagi dengan porsi masing-masing.” Ucap paku dengan bijak.

“Yaa terimakasih kawan, sering kali aku lupa tuk bersyukur.”

Mungkin kurang lebih demikian jika ketiga benda yang saling bersinggungan ini berinteraksi. Semua tidak jauh berbeda dengan sikap manusia ketika sedang berada pada situasi tertentu.

Lamunanku menatap ketiga benda itu, tersadar oleh perut yang berbunyi karena meminta jatahnya. Tersenyum simpul tanpa mengubah pandanganku ke mereka dan membayangkan jika percakapan itu menjadi nyata adanya. Seketika ku merunduk sambil memegang perut yang kian berteriak.

 

ilustrated picture from here

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *