Mengisi rangkaian cerita liburan dengan belajar bersama suku Baduy adalah salah satu impian yang pernah kutulis dalam buku catatanku saat kuliah. Aku lulus kuliah pada 2018, dan akhirnya, perjalanan ke Baduy terlaksana pada 2022. Lagi-lagi, mimpi yang tertulis menjadi kenyataan.
Cerita ini dimulai dari sebuah postingan Instagram yang menawarkan open trip ke Baduy dengan tarif Rp200.000, dan titik kumpul di Stasiun Rangkasbitung. Rencana pun mulai disusun. Aku rutin melakukan riset mengenai tarif bus, kereta, hingga penginapan. Perjalanan ini kulakukan bersama salah satu teman kerjaku, Indri. Pengalamannya yang pernah bekerja di Jakarta membuatku semakin yakin bahwa perjalanan ini akan berjalan lancar.
Perjalanan dimulai dari kota Salatiga, menuju Terminal Bawen untuk menaiki bus Trans Jateng, dan berakhir di Stasiun Tawang. Kami mulai berangkat di sore hari, dan sekitar waktu magrib, kami tiba di Stasiun Tawang. Padahal, kereta kami baru akan berangkat pada pukul 03.00 pagi. Ya, jam itu adalah satu-satunya waktu yang aman untuk memastikan perjalanan kami ke Jakarta berjalan dengan lancar. Semua telah kami perhitungkan, mulai dari jadwal keberangkatan hingga tiba di Jakarta nanti.
Malam tiba
Membunuh waktu tunggu yang panjang hingga esok, kami harus menikmati malam di sekitar Stasiun Tawang. Beberapa menit berjalan dari stasiun, kami tiba di kawasan sejarah Kota Lama Semarang, dengan Gereja Blenduk sebagai ikon utama kawasan tersebut. Malam itu, sekitar gereja semakin ramai dengan pengunjung. Banyak spot foto menarik, seperti ornamen bergaya Belanda atau pun badut robot yang menarik perhatian.
Kami berjalan di antara gedung-gedung tua peninggalan Belanda. Rasa lapar mulai tidak tertahankan, dan akhirnya kami memutuskan untuk makan di angkringan sekitar Kota Lama. Suasana malam yang sejuk, ditambah angin yang cukup besar, seakan memberi tanda hujan akan turun.
Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan menyusuri kawasan tersebut, sambil membeli beberapa camilan untuk perjalanan di kereta nanti. Menikmati malam dan menghabiskan waktu yang ada, kami merasa sudah cukup. Kini saatnya kembali ke stasiun. Kembali kami berjalan di antara gedung tua yang gelap dan sepi, yang sudah ditumbuhi tanaman dengan akar dan batang yang kuat. Tak lama kami melewati “lorong” yang terasa mencekam hingga akhirnya kembali ke stasiun.
Waktu berjalan begitu lambat, dan kami memutuskan untuk menunggu di masjid stasiun Tawang. Ditemani suara bising kereta yang berangkat, kami berdua menikmati waktu tunggu sambil menahan kantuk.
Sambil mengobrol, tak terasa pukul hampir tiga pagi sebelum kereta kami berangkat. Kami segera menuju kursi tunggu kereta. Gerbong ekonomi dekat pintu antar gerbong menjadi tempat duduk kami. Di sinilah awal mula rasa pegal di pinggang kami. Kereta mulai melaju menuju Stasiun Pasar Senen Jakarta. Satu jam berlalu, dan waktu Subuh pun tiba. Kami berdua melaksanakan salat di dalam kereta, mengikuti tata cara salat dalam kendaraan.
Dekat dengan jendela kami memilih tempat duduk. Tentu saja dengan harapan sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan dari gelap menuju terang. Pemandangan tidak ada yang spesial, seperti biasa hanya lahan, sawah dan rumah penduduk disepanjang bantaran rel. Benar saja, sudah hampir sampai. Jakarta, here we go!
Disambut Jakarta
Akhirnya sekitar pukul 7 tiba di stasiun Pasar Senen tanpa pikir panjang, mencari sarapan adalah hal yang harus dilaksanakan. Soto Betawi kugunakan untuk menyapa lambung pagi di Jakarta. Cuaca panas, keramaian lalu lalang penduduk Jakarta maupun pendatang hingga hilir mudik bus Trans Jakarta. Semua menjadi padu menyambut kedatangan kami.
Selama di Ibu Kota, kami mengandalkan bus Trans Jakarta dan Go-Car sebagai transportasi utama. Namun, perjalanan menuju tempat menginap ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Untuk sampai ke daerah Cempaka Putih, kami harus melewati beberapa pemberhentian Trans Jakarta, berjalan kaki, lalu naik lagi ke pemberhentian berikutnya—dan begitu seterusnya.
Akhirnya, kami tiba di sebuah penginapan backpacker dengan low budget. Letaknya tidak jauh dari jalan raya dan jembatan layang, hanya sekitar 100 meter dari jalan utama. Namun, kami datang lebih awal dari waktu check-in. Dengan sabar, kami menunggu sekitar dua jam sebelum akhirnya diizinkan masuk ke kamar.
Hari itu terasa sangat melelahkan, tapi setidaknya kami berhasil tiba dengan selamat dan siap melanjutkan perjalanan berikutnya. Paling tidak satu malam kami dapat beristirahat sebelum benar-benar masuk kampung Baduy dalam.
Cerita selanjutnya bersambung pada bagian dua. Selamat membaca
Tags: baduy, jakarta, stasiunpasarsenen